Selayang Pandang Tentang Makam dan Masjid Mangkuyudo

Selayang Pandang Tentang Makam dan Masjid Mangkuyudo
ISTILAH MANGKUYUDO

Dengan menyebut nama Mangkuyudo tersirat dalam benak kita bahwa nama tersebut adalah salah satu cirri khas nama seorang Jawa. Mangkuyudo terbentuk dari buah kata, Mangku berarti mengemban dan Yudo (Yuda) perang.

Menyebut Masjid Mangkuyudo dan Makam Mangkuyudo tak lepas dari tempat dimana lokasi tersebut berada. Masjid dan Makam Mangkuyudo terletak di Dusun Ketitang, Desa Ketitang, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung.



SEKILAS TENTANG DESA KETITANG

Desa Ketitang merupakan salah satu Desa di Kecamatan Jumo Kabupaten Temanggung, tepatnya wilayah Kecamatan Jumo ujung Barat, berbatasan dengan kecamatan Candiroto, yang berjarak kurang lebih 3 Km dari pusat kota Kecamatan. Dusun Ketitang salah satu lima dusun yang ada di Desa Ketitang, dan merupakan Dusun Ibukota (Krajan) dari desa Ketitang itu sendiri. Secara demografi Dusun Ketitang merupakan Dusun paling selatan dari dusun-dusun yang ada di Desa Ketitang.

Desa Ketitang menempati urutan ke 6 dari 13 desa di Kecamatan Jumo, Baik secara luas wilayah maupun potensi desa jumlah penduduk maupun potensi alam. Jumlah Kepala Keluarga kurang lebih 600, adapun jumlah penduduk seluruhnya kurang lebih 2000 orang baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian masyarakat bermata pencaharian buruh tani (70%), pedagang (10%), pegawai negeri dan swasta (10%) sedangkan yang 10% adalah bermata pencaharian tidak tetap (Bara/Buruh luar daerah). Masyarakat Desa dan Dusun Ketitang 99% memluk Agama Islam dan tergolong masyarakat yang religious dan fanatic terhadap fahamnya. Khususnya Ahli Sunah Waljamaah.

MASJID MANGKUYUDO

Masjid Mangkuyudo adalah sebuah nama masjid yang berada di Dusun Ketitang, yang terletak tepat di tengah Dusun Ketitang. Masjid Mangkuyudo merupakan masjid tua dan merupakan satu-satunya masjid yang tahun berdirinya secara pasti belum diketahui, karena sampai saat ini tidak ditemukan bukti-bukti tertulis yang pasti, akan tetapi secara bahan material yang masih bias dikenali dan masih dalam kondisi baik menunjukkan bahwa Masjid Mangkuyudo adalah masjid tua dan didirikan pada Jaman Hindu. Hal demikian dapat dilihat pada ukiran dan ornamen yang terdapat pada mimbar maupun ukiran tiang (saka). Menurut tokoh masyarakat yang mengampu pimpinan sampai dengan tahun 80 an, masjid pernah dipugar pada tahun 1963 hanya saja pemugarannya sangatlah sederhana yaitu hanya tambal sulam dari dinding dan atap genting, itupun menggunakan bahan yang sangat sederhana. Pada mulanya di depan Masjid terdapat kolam tempat berwudzu yang menjadi ciri khas dari masjid-masjid tua, karena factor lingkungan supaya masjid berkesan bersih maka pada tahun 1980 kolam dihilangkan sebagai ganti sumber air wudzu adalah dibangun sumur, karena dengan adanya kolam yang teraliri air dari sawah terkesan kotor sangat berbahaya bagi kesehatan pribadi maupun lingkungan.

Pada tahun 1987 atas prakarsa dari seorang ulama kharismatik dari Banjaragung Kajoran Magelang, KH Abdul Khamid, yang tidak sengaja sedang melakukan ziarah ke makam tua di Dusun Ketitang berinisiatif untuk memugar karena menurut beliau kondisi masjid sudah tidak layak. Atas prakarsa dari KH Abdul Khamid dan gotong royong seluruh warga akhirnya tahun 1999 masjid selesai dipugar, walaupun pemugarannya belum sempurna akan tetapi sudah jauh lebih baik dibandingkan dari kondisi sebelumnya, sampai saat ini luas bangunan masjid berukuran kurang lebih 14 x 15 m.

Peziarah Padati Makam Wali Mangkuyudo

Peziarah Padati Makam Wali Mangkuyudo
TEMANGGUNG (KRjogja.com) – Ratusan peziarah dari berbagai daerah mendatangi lokasi kompleks pemakaman Wali Mangkuyudo di Desa Ketitang Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung. Tradisi seperti ini   disebut tradisi  ritual sadranan yang dilakukan peziarah dan warga setempat menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.

Juru kunci makam Wali Mangkuyudo, Jupriono (50), Minggu (07/07/2013) menyebtukan tradisi sadranan melekat sejak lama dan kini terus dilestarikan sebagai bagian dari tradisi Jawa. “Wali Mangkuyudo konon merupakan kerabat dari Sunan Kalijaga. Semasa hidupnya, Wali Mangkuyudo sangat berjasa dalam menyebarkan agama Islam di kawasan Temanggung. Peziarah yang mendatangi makam beliau dari Jabar, Jateng, Jatim dan Yogyakarta,” ungkapnya.

Kompleks makam tersebut dinilai merupakan situs bersejarah. Jupriono menuturkan, dua bulan yang lalu, kompleks makam masih berupa kawasan yang berserakan dengan benda-benda bebatuan mirip candi.”Kawasan Jumo dulunya diperkiarakan merupakan salah satu petilasan peninggalan agama Hindu dan Budha, sehingga banyak ditemukan batu-batu candi. Sedangkan secara resmi oleh pemerintah kecamatan, kawasan ini dibuka untuk wisata religi ziarah,” paparnya.

Kepala KUA Jumo, Saubari (48) yang ditemui di lokasi bersejarah tersebut mengemukakan, makam wali satu ini selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah. “Ada situs berupa tempat ibadah yakni Masjid  Tumenggung Mangkuyudo yang cungkup atap, tiang soko serta bedugnya masih asli dan berusia sangat tua. Sampai kini keontentikannya masih dijaga,” jelasnya.

Khusus menjelang bulan Ramadhan, kompleks makam dan masjid ramai dikunjungi peziarah. Warga bersama peziarah menggelar sadranan dengan menggelar do’a bersama dan makan bersama berupa tumpeng sega megono, ingkung ayam dan menu tradisional lainnya.

“Kami terus menekankan kepada peziarah dan warga bahwa mengunjungi makam Wali Mangkuyudo harus diniati sebagai sarana bersilaturahmi dan berdoa’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan ziarah ini dijadikan syirik untuk meminta kepada orang yang telah meninggal,” pinta Saubari.

Sebagai kawasan wisata religi, di kompleks makam Wali Mangkuyudo sudah terpasang sejumlah papan petunjuk yang memudahkan peziarah dari luar daerah menuju lokasi yang letaknya begitu asri di tengah perkebunan kopi.  Menurut Saubari, dengan dibukanya secara resmi kawasan wisata religi ini, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan warga Ketitang, Jumo.(Mud)

http://krjogja.com/read/179391/peziarah-padati-makam-wali-mangkuyudo.kr